Catatan tumpahan ego yang mulai meleleh lewat kuping

Thursday, March 31, 2005

Kabar Pinggir Jembatan

Pagi yang baik tuan!
Saya mau memberikan laporan pandangan mata hari ini. Tadi ada laki-laki berambut kusut, kaosnya robek-robek sedang makan makanan sisa diantara tumpukan sampah di pinggir jembatan kelapa dua. Apa yang dia pikirkan tuan? Apakah dia menuntut keadilan? Seandainya boleh memilih, tentu si rambut kusut akan memilih makan pagi nasi hangat masakan istrinya, dengan sayur kangkung dan bumbu petis kesukaan. Tentu sarapannya diambilkan oleh istri tercintanya yang cantik. Sementara sembari makan, anak-anaknya yang juara kelas bercerita tentang kegiatannya tempo hari. Atau si rambut kusut akan memilih sarapan pagi di hotel berbintang, ditemani wanita cantik entah itu istrinya atau seseorang yang ditemuinya tadi malam di diskotek.

Tapi siapa yang memberi hak untuk memilih? Sistem kapitalis sekarang tidak adil tuan. Tidak akan pernah adil. Tuan pernah baca buku Naomi Klein yang sampulnya hitam dan judulnya tertulis no logo? Tidak.. tidak.. saya tidak menyalahkan tuan. Saya hanya ikut nyeri saat si rambut kusut menggigit kue sisa bersama laler dan tikus yang ngintip diantara tumpukan sampah. Jadi beruntunglah tuan jika masih bisa memilih. Sebab pilihan, di jaman ini, sangat tergantung berapa kapital yang kita miliki, dalam dompet, bank ataupun bentuk kapital lainnya.

Jadi, siapa yang memberi hak untuk memilih.. Oh.. jangan menuduh saya sosialis. Apalagi dengan sufiks kiri.

Pagi yang baik bukan hari ini tuan?

Monday, March 21, 2005

Coretan Dinding

Coretan di dinding membuat resah.
Resah pencoret mungkin ingin tampil.
Tapi lebih resah pembaca coretannya.
Sebab coretan dinding adalah pemberontakan.
kucing liar yang terpojok di tempat sampah
di tiap kota. Cakarnya penuh dengan kuku tajam.
Matanya tajam mengawasi gerak musuhnya.
Musuhnya adalah penindas yang menganggap remeh coretan dinding kota

(coretan dinding - iwan fals (tm))

Ribut-ribut di PPB

Paguyuban Para mBambung (mbambung = pengangguran) hari ini mengadakan rapat besar. Berhubung para satgas (satuan yang suka buang gas) pamong gemblung akan menaikkan harga minyak, mereka harus protes. Sebab hal ini bersinggungan dengan kere-kere yang mereka bela di luar sana. Bayangin jika harga minyak tawon naik, maka tukang pijet harus menaikkan tarif pijatnya, dan dipastikan para kere tidak akan sanggup membayarnya. Gimana bisa mbayar? Tarip sekali urut adalah 5 ringgit. Sedangkan harga minyak tawon sebotol adalah 85 ringgit. Wah, bisa bangkrut bandar.

Begitulah, Para mBambung mulai rapat. Rapat dipimpin oleh mBambung senior, bekas kere kali tambak yang jadi politisi karena nasib baik.

"Sodara sodara dewan para mbambung yang dihormati kere dan laler. Meskipun satgas pamong gemblung bilang bahwa kenaikan minyak ini adalah hak mereka, namun kita sebagai dewan wakil kere berjas yang wajib dihormati, kita adakan rapat demi menegakkan citra kita yang selalu peduli kere dan laler, serta selalu ada yang dikerjain. Jangan sampai kita dicap kurang kerjaan.."

Sang senior berhenti sejenak. Hening diseluruh ruang sidang. Senior mengusap rambutnya berminyak kelimis yang tadi pagi baru disemir oleh gundiknya. Ia berdehem sebentar, sebelum melanjutkan.

"Dan demi mempersingkat waktu.. "ujarnya sambil menengok jam, membayangkan gundiknya yang menunggu di kamar, " Maka langsung akan saya tawarkan voting. Ada dua opsi. A. Setuju minyak naik. B. Tidak setuju minyak tidak naik..."

"Interupsi..!"Ujar seseorang dari ruang sidang sambil menunjukkan jari tengahnya..
"Opsi yang ditawarkan oleh senior yang terhormat sangat melecehkan intelektual kita. Opsi kampungan. Masak pilihannya setuju naik atau tidak setuju tidak naik?.. yang bener dong pimpinan sidang.. "

"Ehm..". Senior kembali melirik jamnya dengan gelisah. Wah bisa gawat jadwal kencan siang ini. "Ok.. ok saya ralat.. " lanjutnya kalem.

(bersambung)