Catatan tumpahan ego yang mulai meleleh lewat kuping

Wednesday, April 13, 2005

Di Ujung Sore

Sore yang baik tuan?
Begitulah. Seminggu yang lalu saya dengar kabar berkabung dari tetangga. Anak sulungnya meninggal karena paru-paru basah. Ijinkan saya berbagi sedikit cerita. Tetangga saya ini cukup unik tuan. Anaknya lebih dari sepuluh. Masing-masing jaraknya satu tahun. Saya sendiri tidak hafal tuan, berapa semuanya. Mungkin dari mereka menikah setiap tahun melahirkan anak. Mungkin tidak tahu KB. Mungkin sengaja. Mungkin masih setia dengan nasehat orang dulu, banyak anak banyak rejeki. Yang jelas mereka keluarga besar.

Ayahnya kerja sebagai kepala koki di katering. Catering dengan omzet yang cukup besar sehingga jika sang ayah membawa pulang potongan daging ke rumah, atau seikat sendok yang kadang ditawarkan ke sodara saya atau tetangga lain, kelihatannya tidak pernah diketahui oleh majikannya. Selain katering, sang ayah juga mencari tambahan dengan menjual jasa kepada tetangga yang ingin mengurus atau mencari sesuatu. Mau cari rumah? Cari sepeda motor? Ayah bisa mencarikannya.

Meskipun sudah sedemikian rupa, tentu saja tidak cukup. Sekolah mahal. Susu mahal. Obat mahal. Dan harta yang dimiliki sang ayah adalah satu-satunya yang murah di Indonesia. Anak-anak. Manusia. Kemanusiaan. Maaf tuan agak ngelantur. Kembali ke cerita. Pernah salah satu anak lakinya meminta motor. Dia minta karena ayahnya hanya bisa menyekolahkannya hingga SMP. Si anak mengancam. Sang ayah kurang lebih berkata,' Lu potong aja leher bapak buat tukerin motor!'.

Kembali ke anak sulung. Anak perempuan ini pendiam. Setelah lulus sekolah setingkat SMU (seingat saya, pernah melihatnya memakai seragam putih abu-abu), dia bekerja di salah satu mall di Jakarta Barat. Jaga toko. Dia harus berangkat pagi-pagi. Pulang malam hari. Kadang sampai jam 11 malam. Bagaimana gajinya tuan? Sudah bisa tuan tebak. Sang anak tidak pernah menikmati gajinya. Semua gajinya diminta ibunya untuk biaya adik-adiknya. Sering saya berpapasan dengannya di malam hari tuan, saat pulang kerja. Wajahnya tampak murung meskipun saat itu gelap. Kemurungannya terasa oleh saya. Dramatisir? Yah tuan boleh bilang saya mendramatisir. Tapi kondisinya tuan sendiri sudah bisa merasakan. Itu kalau saraf empati tuan belum putus.

Lalu waktu itu terdengar kabar si sulung sakit paru-paru. Badannya kurus. Kata saudara yang menjenguknya, katanya badannya menciut. Hingga sebesar keponakan saya yang masih SD. Sudah habis 13 juta di rumah sakit, kata bapaknya. Nggak bisa lama-lama, harus pulang. Duit sudah habis. Berobat jalan saja. Lalu seminggu yang lalu, saya dengar kabar, si sulung pemurung itu meninggal dunia. Membawa mimpi-mimpinya yang tidak pernah berani lagi dia mimpikan. Membawa keinginan-keinginannya untuk seperti gadis-gadis lain yang, jatuh cinta, atau berjalan jalan di mall untuk membunuh waktu. Membawa pergi harapan adik-adiknya yang ingin sekolah sampai ujung. Mari kita berdoa tuan. Dan mari kita bersyukur.

Sore yang baik bukan tuan?

3 Comments:

Blogger Harry Sufehmi said...

Makin terasa kebutuhan kita akan para ulama yang tercerahkan - yang bisa menunjukkan hikmah dibalik musibah kepada kita, dan menunjukkan bahwa penderitaan dunia = kesenangan akhirat. Apalagi manusia itu sungguh pelupa...

10:24 AM

 
Blogger Harry Sufehmi said...

This comment has been removed by a blog administrator.

10:24 AM

 
Blogger mpokb said...

lah.. kirain udah ada posting baru? sori nih ye, out of topic, tapi menurut aye somewhere deep down dalam diri kita masing2 memang ada seorang tukang somay yang berusaha keluar sambil berteriak, "Somaaaaay...!!" :D
btw, itu kutipan dari iwan fals kan yak? bukan iwan simatupang?

12:52 PM

 

Post a Comment

<< Home