Catatan tumpahan ego yang mulai meleleh lewat kuping

Wednesday, May 11, 2005

Nama Saya, sebut saja Hadi

Perkenalkan nama saya Hadi. Tak usah ambil pusing nama itu beneran atau betulan. Saya pensiunan militer berpangkat kolonel. Permainan dunia menjadikan saya sekarang ini sebagai kepala satpam. Saat ini saya sakit. Perut saya kembung, melembung dan terus melembung. Badan saya kurus. Kata dukun, saya diguna-guna. Kata dokter paru-paru saya sakit paru-paru. Kata dokter puskesmas saya maag akut. Entahlah. Tidak ada bedanya, sebab sekarang saya tidak minum obat sama sekali. Mau berobat beneran, nggak punya duit. Mau pinjem duit, utang sudah banyak. Jadi sekarang dirumah, tidak bekerja, sambil setiap hari melihat perut yang semakin melembung.

Istri saya bekerja membungkusi dan menjual tempe. Dirumah banyak sekali tempe-tempe berserakan. Saya sampe mual melihatnya. Tapi dari situlah sebagian yang kami semua makan. Istri saya bawel, suka mengeluh. Tapi kelihatannya dia baik-baik saja dengan kondisinya. Meskipun kecil hasilnya, tapi kami semua harus melakukan sesuatu untuk bisa bertahan hidup.

Anak saya empat. Laki tiga, perempuan satu. Anak pertama saya laki-laki sudah bisa bikin anak. Jadi bisa juga kalau panggil saya Mbah Hadi. Yang tidak bisa dibikin oleh anak laki-laki saya adalah rasa senang di hati bapaknya. Kemarin habis berantem sama adik ipar saya, karena rebutan nempatin rumah mertua saya. Lemarinya dihancurin. Jadi pindah lagi ke rumah. Sekarang dia menganggur. Tiap sore main badminton.

Anak kedua saya juga serumah. Rambutnya gondrong. Pengangguran dari dulu. Pernah bikin sakit ulu hati saya karena dulu tergila gila dengan janda yang umurnya sama dengan ibunya. Setiap hari bikin tempe bantu ibunya. Dari mulai bikin biting (lidi dipotong kecil-kecil untuk mengaitkan sesuatu) sampe bungkusin. Meski penganggur dan dulu sering mabuk, tapi dia yang paling memperhatikan saya. Dia belum lagi menikah.

Anak ketiga saya serumah juga. Dulu pernah kerja sebagai satpam di tangerang. Akhirnya menikahi teman kerjanya dan sekarang keduanya menganggur sambil membesarkan anak. Anak ini yang paling sabar. Dia rajin sholat, dan kadang terlihat oleh saya meneteskan air mata tanpa sebab. Dia mungkin meratapi keluarganya.

Anak terakhir saya, perempuan, adalah satu-satunya yang bekerja. Setiap bulan gajinya dikirimin ke rumah untuk dimakan kami semua. Jual tempe saja tidak cukup.

Begitu saja saya ingin bercerita. Ini tertulis karena seolah-olah hari-hari terakhir ini begitu sempit. Seolah mepet ke tembok dan tidak berdaya. Istri saya setiap hari ngumpet karena dicari-cari orang bank dari kota tetangga. Dua orang yang mencarinya. Anak saya juga tidak kunjung bekerja. Saya tidak mimpi bakal ditolong orang atau sodara. Sebab mereka juga tenggelam dengan masalahnya sendiri. Saya cuma ingin, jika mungkin nanti saya mati karena sudah terlalu kembung, ada yang mengingat saya dengan membaca tulisan ini.

Tertanda
Hadi

Harta

Kadang-kadang terasa aneh. Kenapa kadang kita terlalu larut dengan permainan? Benda-benda di bumi dari dulu ada. Sebelum aye lahir sudah ada. Nanti setelah aye mati tetap ada. Sampai nanti hancur semua. Lalu kenapa aye terlalu ambil pusing dengan benda-benda yang lalu lalang disekitar aye. Kenapa ampe puyeng-puyeng saat benda mampir, atau menjauh dari jangkauan tangan? Toh tidak ada bedanya. Kata 'milikku' itu semu. Sebab entu semua hanya numpang lewat saja.

Yang benar-benar bikin efek adalah makanan yang kita kunyah, masuk ke pencernaan, jadi tenaga atau keluar lagi setelah diolah. Serta lembar pakaian yang saat ini menempel di badan kita. Kata nabi, itulah harta kita yang sebenarnya. Selain itu numpang lewat aja. Jadi jangan terlalu diambil hati. Itu adalah sampah yang mengganggu penglihatan hehehe...